Masihkah bangsa Indonesia tetap bangsa yang besar?
Tampaknya kebesaran itu kini cuma slogan yang tak berarti apa-apa. Belakangan
banyak hal terbengkalai.
Negeri jiran memang tak hanya sekali melakukan pengklaiman atas budaya Indonesia. Masih segar dalam ingatan saat Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia mengklaim Reog Ponorogo sebagai tarian asal Malaysia dengan nama Tari Barongan. Akhirnya Pemerintah Jawa Timur berupaya mendaftarkan Rego Ponorogo untuk mendapatkan hak paten tingkat dunia.
Negeri jiran memang tak hanya sekali melakukan pengklaiman atas budaya Indonesia. Masih segar dalam ingatan saat Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia mengklaim Reog Ponorogo sebagai tarian asal Malaysia dengan nama Tari Barongan. Akhirnya Pemerintah Jawa Timur berupaya mendaftarkan Rego Ponorogo untuk mendapatkan hak paten tingkat dunia.
Klaim yang paling
ramai dan membuat geram adalah pengklaiman batik sebagai warisan kebudayaan
Malaysia. Rakyat Indonesia ramai, geram, marah. Gerakan memakai batik nasional
seperti gelombang besar tiba-tiba muncul. Ancaman diklaimnya batik oleh negeri
jiran Malaysia memunculkan "nasionalisme dadakan".
Pemerintah, yang
juga terkesan “dadakan” lantas buru-buru mendaftarkan batik sebagai warisan
budaya ke Unesco. Klaim atas batik ini akhirnya dimenangkan oleh Indonesia
dengan ditetapkannya batik sebagai warisan budaya Indonesia oleh Unesco pada 2
Oktober 2009.
Kemudian kasus
serupa terulang. Komunitas Mandailing di Malaysia mendaftarkan Tari Tor-tor sebagai budaya warisan negara itu. Bahkan
komunitas ini meminta agar bangsa Indonesia juga memahami usulan agar tari ini
masuk dalam daftar kebudayaan negeri jiran. Salah satu alasannya adalah agar
Tari Tor-tor bisa lestari dan mendapat pengakuan negara, tidak hanya
dipentaskan di rumah saja.
Sejumlah budayawan
Indonesia menyebut, persoalan Tari Tor-tor ini seharusnya tak dipermasalahkan
besar oleh masyarakat Indonesia. Mandailing sebagai sebagai komunitas Melayu di
Malaysia memang memiliki budaya Tari Tor-tor dan budaya adalah warisan suku
bangsa, bukan negara. Dengan demikian budaya bisa tersebar kemana pun jika
masyarakatnya juga menyebar ke segala penjuru.
Pertanyaannya,
sebagai bangsa yang juga merasa memiliki budaya ini, apakah masyarakat Indonesia
juga telah turut melestarikan? Ketika Reog, batik, dan kini Tor-tor ingin
dilestarikan oleh masyarakat di negara lain, rakyat Indonesia marah.
Apakah kemarahan
itu sudah juga diikuti dengan tindakan koreksi akan pelestarian budaya ??
Barangkali budaya memang bukan urusan negara, tapi negara juga memiliki peran
besar untuk mendukung pelestariannya.
Kini muncul
pertanyaan kedua, apakah pemerintah Indonesia, sebelum ramai pemberitaan
tentang pengklaiman ini telah memberi dukungan penuh pada pelestarian
budaya? Padahal, pemerintah kurang berperan dalam pelestarian budaya, justru
yang banyak berperan adalah seniman-seniman yang sudah tua.
Ibarat benda yang selama ini lupa telah dimiliki, lantas kita marah saat benda itu diakui oleh orang lain.
Ibarat benda yang selama ini lupa telah dimiliki, lantas kita marah saat benda itu diakui oleh orang lain.
Rasa memiliki
“dadakan” ini harusnya membuat bangsa dan pemerintah Indonesia sadar.
Memiliki tak hanya sekedar label. Memiliki berarti juga merawat, melestarikan
warisan budaya yang selama ini terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar