Batman Begins - Help Select Budaya Indonesia

Minggu, 01 September 2013

Siapakah Semar Itu ?? Dewa Atau Manusia ??



Dalam banyak referensi, Semar di ceritakan sebagai seorang dewa yang turun ke bumi dengan bentuknya yang sama dengan kondisi rakyat pada umumnya. Dia menerima tanggung jawab sebagai pamong, sebagai lurah di Karang Tumaritis. Jika disimak istilah ‘Karang Tumaritis’ tampaknya kurang menyenangkan ditelinga. Karena arsitektur rumah Jawa di bagian paling depan disebut dengan ‘tritis.’ Yaitu emperan yang diperkenankan untuk menerima tamu tidak dikenal, atau orang yang sekedar mampir atau singgah saja. Tidak mempunyai kebutuhan yang penting.

Semar hadir sebagai tandingan dari sistem kekuasaan terhadap avatara dari para dewa, raja-raja di Asia, termasuk Indonesia disebut sebagai Dewa yang mengejawantah. Sehingga dewa dengan kekuasaan dan kesaktiannya hadir sebagai pemimpin atau sebagai penguasa. Para raja adalah penguasa terhadap sejumlah rakyat, yaitu orang-orang kebanyakan yang tidak memiliki status kebangsawanan.

Semar hadir dari perilaku dewa yang tidak atau bukan ingin menguasai rakyat, akan tetapi dia hadir sebagai rakyat. Perilakunya yang bersahaja, bentuk tubuh yang aneh. Bahkan perilakunya kadang juga aneh.
Kentut saja jadi senjata, sungguh tidak pernah dibayangkan oleh para penguasa atau bangsawan. Kentut adalah simbol dari pola konsumtif rakyat yang hanya dapat makan dari apa yang bisa mereka temukan dari usaha mengkais-ngais hasil bumi. Bahkan mereka hanya bisa mengambil sisa dari sesuatu yang mereka panen sebagai bentuk pajak. Maka kentut merupakan gas yang mungkin sangat beracun, sehingga akan menjadi gas yang mampu membuat orang pingsan seketika.

Sebagai lurah yang ada di sebuah pemukiman jauh dari keramaian kota, semar adalah sosok yang tidak terbicarakan dalam percaturan. Artinya orang-orang yang tidak layak diceritakan. Karena dalam dirinya tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan dirinya atau diri orang lain. Tokoh Semar sangat pekat dalam budaya dan agama hindu di bali.


Budaya Indonesia Yang Terlupakan





Indonesia punya beragam budaya looh guys. Mulai dari baju, tarian, lagu, makanan, alat musik, tempat wisata, dll. Tapi sayangnya orang-orang hampir melupakan budaya Indonesia yang sebenernya sangat unik. Tapi anehnya, budaya kita justu terlupakan. Seharusnya, yang namanya budaya itu dilestarikan. Tapi ini malah dilupakan. 

        Apa aja sih yang terlupakan? Kenapa sih budaya kita terlupakan?? Mau tau kan guys? Langsung aja dah.. 
Cekidooott !!
  1. Pakaian

    Pakaian di Indonesia seharusnya tertutup looh. Tapi sekarang, makin kebuka aja ya??
    Kayak kehabisan bahan gitu kan pakainnya??
    Aneh banget. Penyebabnya adalah budaya luar masuk ke Indonesia. Di luar negeri, kebanyakan orang pake baju yang terbuka. Ketika budaya itu masuk kedalam negeri, otomatis rakyat Indonesia menirunya.
    Padahal, seharusnya kita bisa mem-filter budaya asing yang masuk. Ga asal niru gitu. Selain ketertutupannya, motif asli indonesia juga udah ilang. Sampai-sampai batik pernah hampir di klaim bangsa lain. Sayang banget kan? Itu dia! Seharusnya kita tetap mempertahankan batik, bukannya acuh gitu.

  2. Tarian

    Tarian Indonesia sangat bermacam-macam juga unik looh. Ada Tari Jaipong, Tari Gandrung, Tari Saman, Tari Pendet, dll. Dan itu semua sangat menarik guys. Tapi sekarang, tarian dari luar negeri justru lebih menarik perhatian orang Indonesia dibandingkan tarian asli dari Indonesia sendiri. Penyebabnya sih masih sama. Yaitu karena budaya luar negeri masuk ke Indonesia n’ mereka banyak yang menganggap tari dari Indonesia itu norak atau apalah. Padahal, tarian Indonesia lebih menarik loh guys. Bahkan banyak turis dari negara lain yang mengagumi beberapa tarian Indonesia, tapi mayoritas sih mereka suka tari Bali.
    Tarian yang sekarang menonjol di kalangan anak muda yaitu tari K-Pop, Hip Hop, Sexy Dance, dll.
    Ya pantas saja lah guys kalo beberapa tari dari Indonesia banyak yang di klaim negara lain. Lha mayoritas warganya sendiri aja lebih mengagumi budaya lain daripada budayanya sendiri.
    Maka dari itu ayo kita lestarikan tari tradisional Indonesia agar tidak diklaim bangsa lain.

3.    Alat Musik
      Kalo yang satu ini sih sedikit terlupakan. Kita punya banyak alat musik tradisional. Tapi alat musik tradisional jarang ditunjukan. Dan jarang orang yang tahu alat musik itu sendiri. Mungkin yang mereka tau cuman gong, suling, kecapi, gamelan, dan gendang. Selebihnya paling cuma beberapa. Sekarang ini, di indonesia lebih terkenal gitar, piano, biola, drum, dll. So, kemana alat musik tradisional kita??

  1. Makanan
Sekarang, fast food / junk food sudah menguasai pasaran. Dimana-mana orang pasti makan ke restoran fast food. Padahal kan ga sehat. Lalu giamana nasib makanan Indonesia?? Hanya ada segelintir orang-orang yang setia yang selalu makan makanan asli Indonesia. Padahal kan makanan kita beragam. Ada sate, soto, rujak, pecel, gulai, dll. Tentu makanan Indonesia lebiih enak bin nikmaat dibanding makanan fast food.



  1. Tempat Wisata
Tempat wisata di Indonesia banyak dan indah loh. Bahkan, objek wisata masuk 7 keajaiban dunia, yaitu candi Borobudur dan pulau Komodo. Indonesia memiliki pantai yang indah loh seperti, Pantai Kuta, Pasir Putih, Lombok, Raja Ampat, dll. Indonesia juga punya tempat yang unik yanitu Green Canyon, yaitu sungai yang dikepung oleh tebing-tebing yang indah. Uniknya lagi, sungai Green Canyon memiliki air berwarna hijau. Gak kalah keren kan sama yang luar negeri??
Kita sebagai warga asli Indonesia harus bisa dong melestarikan budaya kita. Kalian pasti gamau kan budaya kita diambil sama orang luar?? Maka dari itu, kita harus terus melestarikan dan juga mempertahankan budaya kita. So, JANGAN PERNAH LUPAKAN BUDAYA INDONESIA!! Kalau bangsa lain bisa mempertahankan budayanya sendiri. Mengapa kita tidak ?? Semangaat guys !! ^_^


Tari Gandrung Yang Terlupakan





Seni Tari Gandrung merupakan salah satu seni tari tradisional yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu generasi dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Probolinggo, Cilacap, dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan.
Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, sehingga Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.
Tari Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.
Tari Gandrung memiliki ciri khas , mereka menari dengan kipas dan selendang (sampur), dan ketika penari menyentuh kipasnya kepada salah satu penonton biasanya laki – laki dan di ajak untuk menari. Keberadaan Tari Gandrung sangat erat kaitannya dengan tari Seblang. Hal itu dapat dilihat dari seni gerak tari maupun unsur-unsur tari yang lain, seperti: nyanyian dan alat musik yang digunakan. Hal yang membedakan dengan Tari Seblang adalah sifatnya, Tari Seblang merupakan suatu tarian yang bersifat sakral yang selalu ditandai adanya trance atau kerasukan bagi penarinya, sedangkan Tari Gandrung bersifat sebagai hiburan atau tari pergaulan.
Tari Gandrung dalam pementasannya didukung oleh berbagai unsur, yaitu penari, pemusik, alat musik, nyanyian (gendhing), gerak tari, dan arena atau panggung. Masing-masing unsur mempunyai tugas dan peranannya sendiri-sendiri. Selain itu dalam pementasan juga didukung oleh pemaju, yaitu penonton yang menari bersama penari Gandrung. Setiap penonton mempunyai kesempatan untuk menari bersama Gandrung.
Namun, Tari Gandrung saat ini hampir terlupakan oleh masyarakat terutama golongan pemuda, tak banyak pemuda zaman sekarang mengetahuinya. Tari Gandrung banyak terlupakan karena banyak faktor yaitu, banyak masuknya budaya luar yang “lebih bagus” sehingga disukai remaja sekarang, kesibukan masyarakat kota terhadap pekerjaan mereka sehingga lupa akan informasi yang “kecil” seperti Tari Gandrung ini, pandangan masyarakat sekitar yang menilai Tari Gandrung itu negatif, era modern dimana teknologi lebih mendominasi dan sebagainya.
Tari Gandrung sendiri hampir mendapat pandangan negatif dari kalangan masyarakat internnya, beberapa sebabnya adalah dikhawatirkan ketika sang penari mendapatkan lawan tari (pengunjung) yang mabuk, bisa terjadi pelecehan seksual, sang penari harus selalu melayani pengunjung selama pengunjung masih ada yang ingin menari, terkadang penari sendiri diejek oleh masyarakat sekitar dan lain sebagainya.
Karena pandangan negatif itulah serta beberapa faktor lainnya yang mengakibatkan Tari Gandrung semakin sepi peminatnya. Maka dari itu segala upaya untuk melestarikan kebudayaan asli indonesia ini dilakukan secara modern dan merubah pandangan orang terhadap segala keburukan dari Tari Gandrung yang ada, yaitu dengan cara menganggap Tari Gandrung hanyalah tarian biasa dengan artian diambil cara-cara bagaimana Tari Gandrung tersebut dan melepas kebiasaan melayani pengunjung dan menganggap Tarian Gandrung sebagai ajang melestarikan budaya Indonesia, misalnya perlombaan tarian, untuk menyambut turis/acara internasional.
Dengan tujuan tersebut sekarang ini banyak SMA / SMK di indonesia ada pelajaran Tari yang dimaksudkan ,terutama Banyuwangi sendiri, untuk mengajari bagaimana tarian tersebut dilakukan tetapi tidak untuk tujuan negatif seperti yang di pandangkan sebelumnya dan ternyata cukup berhasil ada beberapa penari-penari baru lahir dari SMA/ SMK dan dengan pandangan yang lebih positif dan baik tentunya.

Warisan Yang Terlupakan dan Nasionalisme Dadakan




Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Apakah kalimat itu masih menggugah hati rakyat Indonesia?? Ketika korupsi merajalela, hukum dan hak asasi dilanggar tanpa keadilan, rakyat kelaparan, dan warisan budaya diklaim negara lain.
Masihkah bangsa Indonesia tetap bangsa yang besar?
Tampaknya kebesaran itu kini cuma slogan yang tak berarti apa-apa. Belakangan banyak hal terbengkalai.

Negeri  jiran  memang tak hanya sekali melakukan pengklaiman atas budaya Indonesia. Masih segar dalam ingatan saat Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia mengklaim Reog Ponorogo sebagai tarian asal Malaysia dengan nama Tari Barongan. Akhirnya Pemerintah Jawa Timur berupaya mendaftarkan Rego Ponorogo untuk mendapatkan hak paten tingkat dunia.

Klaim yang paling ramai dan membuat geram adalah pengklaiman batik sebagai warisan kebudayaan Malaysia. Rakyat Indonesia ramai, geram, marah. Gerakan memakai batik nasional seperti gelombang besar tiba-tiba muncul. Ancaman diklaimnya batik oleh negeri jiran Malaysia memunculkan "nasionalisme dadakan".
Pemerintah, yang juga terkesan “dadakan” lantas buru-buru mendaftarkan batik sebagai warisan budaya ke Unesco. Klaim atas batik ini akhirnya dimenangkan oleh Indonesia dengan ditetapkannya batik sebagai warisan budaya Indonesia oleh Unesco pada 2 Oktober 2009.
Kemudian kasus serupa terulang. Komunitas Mandailing di Malaysia mendaftarkan Tari Tor-tor  sebagai budaya warisan negara itu. Bahkan komunitas ini meminta agar bangsa Indonesia juga memahami usulan agar tari ini masuk dalam daftar kebudayaan negeri jiran. Salah satu alasannya adalah agar Tari Tor-tor bisa lestari dan mendapat pengakuan negara, tidak hanya dipentaskan di rumah saja.
Sejumlah budayawan Indonesia menyebut, persoalan Tari Tor-tor ini seharusnya tak dipermasalahkan besar oleh masyarakat Indonesia. Mandailing sebagai sebagai komunitas Melayu di Malaysia memang memiliki budaya Tari Tor-tor dan budaya adalah warisan suku bangsa, bukan negara. Dengan demikian budaya bisa tersebar kemana pun jika masyarakatnya juga menyebar ke segala penjuru.
Pertanyaannya, sebagai bangsa yang juga merasa memiliki budaya ini, apakah masyarakat Indonesia juga telah turut melestarikan? Ketika Reog, batik, dan kini Tor-tor ingin dilestarikan oleh masyarakat di negara lain, rakyat Indonesia marah.
Apakah kemarahan itu sudah juga diikuti dengan tindakan koreksi akan pelestarian budaya ?? Barangkali budaya memang bukan urusan negara, tapi negara juga memiliki peran besar untuk mendukung pelestariannya.
Kini muncul pertanyaan kedua, apakah pemerintah Indonesia, sebelum ramai pemberitaan tentang pengklaiman ini telah memberi dukungan penuh pada pelestarian budaya? Padahal, pemerintah kurang berperan dalam pelestarian budaya, justru yang banyak berperan adalah seniman-seniman yang sudah tua.
Ibarat benda yang selama ini lupa telah dimiliki, lantas kita marah saat benda itu diakui oleh orang lain.
Rasa memiliki “dadakan” ini harusnya membuat bangsa dan pemerintah Indonesia sadar. Memiliki tak hanya sekedar label. Memiliki berarti juga merawat, melestarikan warisan budaya yang selama ini terlupakan.

Sabtu, 31 Agustus 2013

Budaya dan Sejarah Banyuwangi




Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin Pangeran Tawang Alun.
Pada masa ini secara administratif VOC menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II kepada VOC.
Namun VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaanya sampai pada akhir abad ke-17, ketika pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan.
Daerah yang sekarang dikenal sebagai "komplek Inggrisan" adalah bekas tempat kantor dagang Inggris.
VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulit perang besar selama lima tahun (1767-1772). Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Namun pada akhirnya VOC-lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama dan tanda runtuhnya kerajaan Blambangan.

Tokoh sejarah fiksi yang terkenal adalah Putri Sritanjung yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya
mengira janin dalam rahimnya bukan anaknya tapi hasil perselingkuhan ketika dia di tinggal menuju medan perang. Dengan sumpah janjinya kepada sang suami sang putri berkata jika darahku yang mengalir di sungai ini amis memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau harum (wangi) maka janin ini adalah anakmu. Maka seketika itu darah yang mengalir ke dalam sungai terebut berbau wangi, maka menyesal-lah sang suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini dan menamai daerah itu sebagai Banyuwangi.

Tokoh sejarah lain ialah Minak
Jinggo, seorang Adipati dari Blambangan yang memberontak terhadap kerajaan Majapahit dan dapat ditumpas oleh utusan Majapahit yaitu Damarwulan.


Seni Budaya

Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal yang saling mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun di Pulau Jawa.
Tapi yang lebih menonjol adalah budaya Jawa-Balinya yang sangat pekat.



Kesenian tradisional

Kesenian tradisional khas Banyuwangi antara lain :
Gandrung Banyuwangi
Seblang
Janger
Campursari
Rengganis
Hadrah Kunthulan
Patrol
Mocopatan Pacul Goang
Jaranan Butho
Barong
Kebo-Keboan
Angklung Caruk
Gedhogan

Jenis kesenian tadi merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.


Musik khas Banyuwangi

Gamelan Banyuwangi khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung memiliki kekhasan dengan adanya kedua biola, yang salah satunya dijadikan sebagai pantus atau pemimpin lagu. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling.

Selain itu, gamelan ini juga menggunakan "kluncing" (triangle), yakni alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan yang sama.

Kemudian terdapat "kendhang" yang jumlahnya bisa satu atau dua. Kendhang yang dipakai di Banyuwangi hampir serupa dengan kendhang yang dipakai dalam gamelan Sunda maupun Bali. Fungsinya adalah menjadi komando dalam musik, sekaligus memberi
kan efek musikal di semua sisi.

Alat berikutnya adalah "kethuk". Terbuat dari besi, berjumlah dua buah dan dibuat berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. "Kethuk estri" (feminine) adalah yang besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro. Sedangkan "kethuk jaler" (maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini bukan sekedar sebagai instrumen ‘penguat atau penjaga irama’ seperti halnya pada gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan kendang.

Sedangkan "kempul" atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi dengan "saron bali" dan "angklung".

Selain Gamelan untuk Gandrung ini, gamelan yang dipakai untuk pertunjukan Angklung Caruk agar berbeda dengan Gandrung, karena ada tambahan angklung bambu yang dilaras sesuai tinggi nadanya. Untuk patrol, semua alat musiknya terbuat dari bambu. Bahkan untuk pertunjukan Janger, digunakan gamelan Bali, dan Rengganis gamelan Jawa lengkap. Sedang khusus kesenian Hadrah Kunthulan, digunakan rebana, beduk, kendhang, biola dan kadang bonang (atau dalam gamelan Bali disebut Reong).

Modernisasipun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi, muncul berbagai varian musik yang merupakan paduan tradisional dan modern, seperti Kunthulan Kreasi, Gandrung Kreasi, Kendhang Kempul Kreasi dan Janger Campursari yang memasukkan unsure elekton kedalam musiknya, dan menjadi kesenian popular di kalangan masyarakat. Namun demikian, sebagian pakar kebudayaan mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang selama berratus-ratus tahun.